Garis Batas Gelas

Ilmu pengetahuan kita mengenai alam semesta adalah bahasa atau pernyataan-pernyataan gramatikal untuk mengekspresikan apa yang diketahui. Jadi, sesuatu yang belum diketahui bukanlah ilmu pengetahuan. Jika dipersempit, ilmu pengetahuan hanyalah pernyataan-pernyataan gramatikal yang menyatakan suatu informasi.

Pernyataan dapat berupa kalimat tunggal atau jamak yang mengilustrasikan informasi apapun, yakni bilangan, besaran atau keduanya. Sistem linguistik kita menempatkan bilangan dan besaran adalah dua hal yang identik, yang dapat mewakili semua objek ilmu pengetahuan. Bilangan berupa objek ilmu pengetahuan yang nilai dan arahnya tertentu, sedangkan besaran adalah objek ilmu pengetahuan yang nilai dan arahnya tak tertentu.

Nilai itu sendiri informasi kuantitas yang melekat pada objek sedangkan arah adalah informasi kualitas yang pun melekat padanya sehingga objek-objek tersebut dapat dipahami.

Konsep nilai dan arah (kuantitas dan kualitas) ini adalah asal-usul untuk aturan-aturan berhitung kita selama ini bahkan Alkhwarizmi pun tidak menjelaskan asal-usul keterampilan berhitung tersebut.

Entitas ilmu dapat berupa objek, benda-benda, partikel-partikel, bilangan-bilangan atau besaran-besaran. Hal mendasar mengenai apa yang membuat mereka dapat dipahami adalah karena informasi tentang nilai dan arah (kuantitas dan kualitas) mereka yang terbatas. Bagaimana mungkin sesuatu yang memiliki entitas tak terbatas dapat dipahami? Bahkan konsep ketakhinggaan sekalipun haruslah terbatas.

Jika pernyataan-pernyataan gramatikal di dalam ilmu pengetahuan yang mengandung informasi nilai dan arah yang terbatas berlaku umum, maka sistem alam semesta secara keseluruhan pun harus dibatasi.

Anggaplah sistem alam semesta kita seperti sebuah gelas, tak kurang dan tak lebih, harus hanya sebatas “satu gelas,” sehingga garis-garis di tepi gelas adalah batas-batas yang kita maksud. Semua yang akan didefinisikan di dalam gelas tersebut harus terbatas pada garis-garis tepi gelas. Tidak mungkin alam pikiran kita melampaui garis-garis tersebut.

Analogi gelas semesta ini akan memperbaharui kerangka berpikir mengenai alam semesta. Misalnya pada kasus Achilles, sebagai pelari tercepat, sangat paradoks ia tak mampu mengejar kura-kura yang berjalan sangat lambat. Jarak yang memisahkan mereka berdua hanya menghitung mundur, 2000, 1000, 500, 250, 125 … sampai tak hingga kecilnya, namun tidak benar-benar hilang.

Semua pernyataan “tak hingga” atau “tak terhingga” atau “tak terbatas” yang tertulis pada buku-buku ilmu pengetahuan kita sekarang adalah garis-garis tepi pada gelas semesta. Garis-garis tersebut adalah informasi mengenai nilai dan arah maksimum yang dapat dicapai, bahkan jika hal tersebut hanya dapat dicapai di dalam alam pikiran saja.


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *